PROJECT BASED LEARNING
1. Pengertian Project Based Learning
Menurut Buck Institute for Education (BIE) (dalam Khamdi, 2007) “Project Based Learning adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tmemberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruksi belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai dan realistik.
Project Based Learning merupakan pembelajaran inovatif yang berpusat pada siswa (student centered) dan menempatkan guru sebagai motivator dan fasilitator, dimana siswa diberi peluang bekerja secara otonom mengkonstruksi belajarnya. Project Based Learning sangat cocok dipadukan dengan materi koloid. Berdasarkan kegiatan pembelajaran dalam silabus, materi koloid menuntut siswa untuk aktif (student centered) sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator, siswa bekerja sama dengan berbagai percobaan seperti percobaan pengelompokan berbagai sistem koloid, percobaan sifat-sifat koloid secara kelompok dan percobaan pembuatan koloid. Selain itu materi koloid juga sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga banyak peluang untuk mengajak siswa berpikir kritis dan kreatif mengenai masalah nyata yang akan diangkat dalam Project Based Learning .
2. Karakteristik Project Based Learning
BIE ( dalam Susanti, 2008) menyebutkan ciri-ciri Project Based Learningdiantaranya adalah: isi, kondisi, aktivitas dan hasil. Keempat ciri-ciri itu adalah sebagai berikut:
1. Isi
Difokuskan pada ide-ide siswa yaitu dalam membentuk gambaran sendiri bekerja atas topik-topik yang relevan dan minat siswa yang seimbang dengan pengalaman siswa sehari-hari.Pada materi koloid masalah nyata yang diangkat haruslah difokuskan pada pengalaman siswa sehari-hari.
2. Kondisi
Maksudnya adalah kondisi untuk mendorong siswa mandiri, yaitu dalam mengelola tugas dan waktu belajar. Sehingga dalam belajar materi koloid siswa mencari sumber informasi secara mandiri dari berbagai referensi seperti buku maupun intenet.
3. Aktivitas
Adalah suatu strategi yang efektif dan menarik, yaitu dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalahmasalah menggunakan kecakapan. Aktivitas juga merupakan bangunan dalam menggagas pengetahuan siswa dalam mentransfer dan menyimpan informasi dengan mudah. Pada materi koloid, siswa dituntut untuk aktif, menggunakan kecakapan untuk memecahkan masalah dan berbagai tujuan belajar yang ingin dicapai. Dilihat dari kegiatan pembelajaran dalam silabus, materi koloid sangat menekankan aktifitas siswa.
4. Hasil
Hasil disini adalah penerapan hasil yang produktif dalam membantu siswa mengembangkan kecakapan belajar dan mengintegrasikan dalam belajar yang sempurna, termasuk strategi dan kemampuan untuk mempergunakan kognitif strategi pemecahan masalah. Juga termasuk kecakapan tertentu, disposisi, sikap dan kepercayaan yang dihubungkan dengan pekerjaan produktif, sehingga secara efektif dapat menyempurnakan tujuan yang sulit untuk dicapai dengan model-model pengajaran yang lain.
3. Komponen-komponen Project Based Learning
Komponen-komponen Project Based Learning meliputi beberapa hal:
1. Isi kurikulum
Guru dan siswa bertanggung jawab atas dasar standar dan tujuan yang jelas serta mendukung proses belajar.
2. Komponen multimedia
Siswa diberi kesempatan untuk menggunakan teknologi secara efektif sebagai alat dalam perencanaan, perkembangan atau penyajian proyek.
3. Komponen petunjuk siswa
Dirancang untuk siswa dalam membuat keputusan, berinisiatif dan memberi materi untuk mengembangkan dan menilai pekerjaannya.
4. Bekerja sama
Memberi siswa kesempatan bekerjasama diantara siswa maupun dengan guru serta anggota kelompok yang lain.
5. Komponen hubungan dengan dunia nyata
Project Based Learning dihubungkan dengan dunia nyata menuju persoalan yang relevan untuk kehidupan siswa atau kelompok dan juga komunikasi dengan dunia luar kelas melalui internet, serta bekerjasama dengan anggota kelompok.
6. Kerangka waktu
Memberi siswa kesempatan merencanakan, merevisi, membayangkan pembelajarannya dalam kerangka waktu berpikir untuk materi dan waktu yang mendukung pembelajaran tersebut.
7. Penilaian
Proses penilaian dilakukan secara terus menerus dalam setiap pembelajaran, seperti menilai guru, teman, menilai dan merefleksi diri.
4. Dukungan teoritis Project Based Learning
Secara teoritis dan konseptual, pembelajaran berbasis proyek juga didukung oleh teori aktivitas. Activity theory menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri atas: (a) tujuan yang ingin dicapai, (b) subjek yang berada dalam konteks, (c) suatu masarakat dimana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan, (d) alat-alat, dan (e) peraturan kerja dan pembagian tugas. Dalam penerapannya dikelas bertumpu pada kegiatan belajar aktif dalam bentuk melakukan sesuatu (doing) daripada kegiatan pasif menerima transfer pengetahuan dari guru (Wena,2010).
Pembelajaran berbasis proyek juga didukung oleh teori belajar konstruktivistik, yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri didalam konteks pengalamannya sendiri. Pembelajaran berbasis proyek dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan secara personal. Ketika pembelajaran berbasis proyek dilakukan dalam model belajar kolaboratif dalam kelompok kecil siswa, pembelajaran berbasis proyek juga mendapat dukungan teoritis yang bersumber dari konstruktivisme sosial Vygotsky yang memberikan landasan pengembangan kognitif melalui peningkatan intensitas interaksi antarpersonal. Adanya peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide orang lain, dan merefleksikan ide sendiri pada orang lain, adalah suatu bentuk pembelajaran individu. Proses interaktif dengan kawan sejawat membantu proses konstruksi pengetahuan. Dari perspektif teori ini pembelajaran berbasis proyek dapat membantu siswa meningkatkan keterampilan dan memecahkan masalah secara kolaboratif (Wena,2010).
5. Tahap-Tahap Project Based Learning
1. Menentukan proyek yang akan dilakukan
Pada tahap ini guru memberikan proyek kepada siswa, menentukan batasan-batasan dan menentukan tujuan utama dari proyek. Proyek yang akan dilakukan terkait dengan materi koloid yaitu proses penjernihan air.
2. Menentukan kerangka waktu proses penjernihan air
Tahap ini merupakan tahap menentukan berapa lama proyek akan dikerjakan, memeriksa tujuan proyek yang akan diteliti dan menyediakan tempat yang sesuai untuk proyek. Penentuan kerangka waktu proyek disesuaikan dengan persiapan pencarian referensi pendukung materi koloid terutama yang berhubungan dengan proses penjernihan air, dan penyediaan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam proses penjernihan air,
3. Merencanakan kegiatan apa yang akan dilakukan
Pada tahap ini guru memilih beberapa kegiatan yang sesuai, menggambarkan kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa. Guru memberikan gambaran proses penjernihan air secara ringkas selanjutnya siswa mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya mengenai proses penjernihan air serta kaitannya dengan sifat-sifat koloid.
4. Merencanakan penilaian
Setelah siswa melakukan kegiatan pada tahapan ini nantinya guru meninjau atau menuliskan beberapa tujuan penilaian, merencanakan alatalat penilaian apa saja yang akan digunakan, menambahkan penilaian dalam kerangka waktu. Penilaian ini juga mencakup penguasaan materi koloid oleh siswa terutama yang berhubungan dengan proses penjernihan air seperti sifat koloid adsorpsi dan koagulasi.
5. Memulai proses penjernihan air dengan siswa
Tahap ini adalah tahap pengerjaan proses penjernihan air dengan mendiskusikan tujuan dikelas, melaksanakan, melihat dan mendengarkan pekerjaan apa yang dilakukan, mengingatkan siswa untuk tidak membuang-buang waktu pengerjaan proyek, menambah atau mengurangi kegiatan untuk memperkuat kecakapan dalam kelompok dan kecakapan dalam mengelola dan mendiskusikan beberapa perbaikan.
6. Gambaran akhir proses penjernihan air
Tahap ini memberikan hasil akhir dalam suatu forum khusus, yaitu mendiskusikan atau menuliskan hal-hal yang penting dari proses penjernihan air, menganjurkan perbaikan untuk proses penjernihan selanjutnya.
6. Kelebihan Project Based Learning
Project Based Learning adalah penggerak yang unggul untuk membantusiswa belajar melakukan tugas-tugas otentik dan multidisipliner, menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efektif dan bekerja dengan orang lain. Pengalaman di lapangan baik dari guru maupun siswa bahwa Project Based Learning menguntungkan dan efektif sebagai pembelajaran selain itu memilki nilai tinggi dalam peningkatan kualitas belajar siswa. Anatta (dalam Susanti, 2008) menyebutkan beberapa kelebihan dari Project Based Learning diantaranya sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi, dimana siswa tekun dan berusaha keras dalam mencapai proyek dan merasa bahwa belajar dalam proyek lebih menyenangkan daripada komponen kurikulum yang lain.
2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dari berbagai sumber yang mendeskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
3. Meningkatkan kolaborasi, pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa mengembangkan dan mempraktikan keterampilan komunikasi. Teori-teori kognitif yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa siswa akan belajar lebih didalam lingkungan kolaboratif.
4. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber, bila diimplementasikan secara baik maka siswa akan belajar dan praktik dalam mengorganisasi proyek, membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
7. Kekurangan Project Based Learning
Menurut (Susanti, 2008) berdasarkan pengalaman yang ditemukan di lapangan Project Based Learning memiliki beberapa kekurangan diantaranya:
1. Kondisi kelas agak sulit dikontrol dan mudah menjadi ribut saat pelaksanaan proyek karena adanya kebebasan pada siswa sehingga memberi peluang untuk ribut dan untuk itu diperlukannya kecakapan guru dalam penguasaan dan pengelolaan kelas yang baik.
2. Walaupun sudah mengatur alokasi waktu yang cukup masih saja memerlukan waktu yang lebih banyak untuk pencapaian hasil yang maksimal.
I. PROBLEM BASED LEARNING
1. Pengertian Problem Based Learning
Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Problem Based Learning merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
Problem Based Learning merupakan proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata dan kemudian dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman baru.
2. Tujuan Model Pembelajaran Problem Based Learning
Departemen Pendidikan Nasional (2003), Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu.
Dari pengertian ini, dikatakan bahwa tujuan utama pembelajaran berbasis masalah adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam berpikir dan memotivasi siswa untuk terus belajar.
Muslimin Ibrahim (2000:7) Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pembelajar yang mandiri. Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi yang nantinya akan diberikan kepada siswa saat proses pembelajaran.
3. Karakteristik Problem Based Learning
PBL memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran Berbasis Masalah
a. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik yang bisa bersumber dari berita,rekaman,video dan lain sebagainya.
b. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik.
c. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak,sehingga terasa manfaatnya.
d. Bahan yang dipilih adalah bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
e. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
4. Prinsip-prinsip Pembelajaran Problem Based Learning
1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan ke kepala pembelajar. Kepala pembelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh pembelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil(call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil. Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran.
2. Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan metakognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah masuk akal?
3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikan tradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).
5. Implementasi Problem Based Learning
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
PBL dapat dimulai dengan mengembangkan masalah yang: (1) menangkap minat siswa dengan menghubungkannya dengan isue di dunia nyata; (2) menggambarkan atau mendatangkan pengalaman dan belajar siswa sebelumnya; (3) memadukan isi tujuan dengan ketrampilan pemecahan masalah; (4) membutuhkan kerjasama, metode banyak tingkat (multi-staged method) untuk menyelesaikannya; dan (5) mengharuskan siswa melakukan beberapa penelitian independent untuk menghimpun atau memperoleh semua informasi yang relevan dengan masalah tersebut.
Pembelajaran PBL mendasarkan pada masalah, maka pemilihan masalah menjadi hal yang sangat penting. Masalah untuk PBL seharusnya dipilih sedemikian hingga menantang minat siswa untuk menyelesaikannya, menghubungkan dengan pengalaman dan belajar sebelumnya, dan membutuhkan kerjasama dan berbagai strategi untuk menyelesaikannya. Untuk keperluan ini, masalah open-ended yang disarankan untuk dijadikan titik awal pembelajaran.
Model pembelajaran berbasis masalah dikembangkan berdasarkankonsep-konsep yang dicetuskan oleh Jerome Bruner. Konsep tersebutadalah belajar penemuan atau discovery learning, Johnson membedakannya dengan Inquiry Learning. Dalam discovery learning, ada pengalaman yang disebut ”... ahaa experience”. Yang dapat diartikanseperti nah ini dia. Sebaliknya Inquiry Learning tidak selalu sampai padaproses tersebut. Hal ini karena proses akhir discovery learning adalah penemuan, sedangkan Inquiry Learning proses akhir terletak padakepuasan kegiatan peneliti. Meskipun demikian akan tetapi keduanyamemiliki persamaan. Discovery learning dan Inquiry Learning merupakanpembelajaran beraksentuasi pada masalah-masalah kontekstual. Keduanyamerupakan pembelajaran yang menekankan aktivitas penyelidikan.
Dengan adanya ransangan atau stimulus berupa masalah yangberkaitan dengan materi pelajaran maka kemampuan siswa untuk menganalisis suatu permasalahan yang berdasarkan teori yang sesuai akanmampu melahirkan suatu pengetahuan baru dan cara baru dalam mengatasiberbagai masalah yang berkaitan dengan materi pelajaran yang dipelajari.
6. Kelebihan dan Kekurangan PBL
1. Kelebihan PBL
Kelebihan penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah adalah (Taufiq, 2009):
a. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri menemukan konsep tersebut;
b. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi;
c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna;
d. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan keterkaitan pembelajar terhadap bahan yang dipelajari;
e. Menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara pembelajar;
f. Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan belajar pebelajar dapat diharapkan;
g. Merangsang keterbukaan pikiran serta mendorong peserta didik untuk melakukan pembelajaran yang reflektif, kritis dan aktif;
h. Merangsang peserta didik untuk bertanya dan menggali pengetahuan secara mendalam;
i. Mencerminkan sifat alamiah pengetahuan, yaitu: kompleks dan berubah- ubah sesuai kebutuhan, sebagai respons terhadap masalah yang dihadapi.
Ada beberapa keunggulan PBL (Boud, 1985 dalam Baden and Major,
2003) yang ditemukan yaitu: “Dapat memperluas tema, menggunakan pendekatan yang beragam, memperluas filosofis, serta akhir pembelajarannya berujung terbuka.”
Sebagai perluasan filosofis maka PBL mencakup tiga bidang yang luas, yaitu:
a. Menggunakan organisasi kurikulum disekitar masalah, karena itu lebih bersifat kurikulum terintegrasi dan menekankan pada keterampilan kognitif;
b. Kondisi yang difasilitasi oleh PBL berupa belajar dalam kelompok- kelompok kecil, tutorial, dan belajar aktif;
c. Hasil belajar yang difasilitasi oleh PBL berupa pengembangan keterampilan dan motivasi, seiring dengan pengembangan kemampuan belajar sepanjang hayat.
Karena PBL lebih memfasilitasi inkuiri melaksanakan PBL dengan membentuk perpaduan dan saling keterkaitan secara bebas antara PBL dengan project-based learning, problem-solving learning, action and work-based learning.
2. Kekurangan PBL
Kekurangan penggunaan model pembelajaran berdasarkan masalah adalah (Taufiq, 2009):
a. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai;
b. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini.
c. Kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode konvensional, pemberian materi terjadi secara satu arah.
d. Kurangnya waktu pembelajaran. Proses PBM terkadang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara, waktu pelaksanaan PBM harus disesuaikan dengan beban kurikulum.
e. Menurut Fincham et al. (1997), "PBL tidak menghadirkan kurikulum baru tetapi lebih pada kurikulum yang sama melalui metode pengajaran yang berbeda," (hal. 419).
f. Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka untuk belajar, terutama di daerah yang mereka tidak memiliki pengalaman sebelumnya.
g. Seorang guru mengadopsi pendekatan PBL mungkin tidak dapat untuk menutup sebagai bahan sebanyak kursus kuliah berbasis konvensional. PBL bisa sangat menantang untuk melaksanakan, karena membutuhkan banyak perencanaan dan kerja keras bagi guru. Ini bisa sulit pada awalnya bagi guru untuk "melepaskan kontrol" dan menjadi fasilitator, mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan yang tepat daripada menyerahkan mereka solusi.
II. DISCOVERY LEARNING
1. Pengertian Pembelajaran Discovery Learning
Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.
Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagia hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ie menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi.
Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.
Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.
Dalam pembelajaran discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier (Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata – mata ditemukan oleh siswa sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
a. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
b. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit mauun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan
c. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
d. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan mneggunakan ide-ide orang lain.
e. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
f. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.
3. Strategi-strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning
Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Strategi Induktif
Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan “barangkali” atau “mungkin”.
b. Strategi deduktif
Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya. Sebagai contoh, untuk menentukan rumus luas lingkaran, siswa dapat diarahkan untuk membagi kertas berbentuk lingkaran menjadi n buah sector yang sama besar, kemudian menyusunnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti persegi panjang dan rumus keliling lingkaran yang sudah diketahui sebelumnya, siswa akan dapat menemukan bahwa luas lingkaran adalah .
4. Peranan Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning
Dahar (1989) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
a. Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.
b. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang berlawanan.
c. Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif, ikonik, dan simbolik.
d. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebuh dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.
e. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisai-generalisasi itu.
5. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Discovery Learning
Kelebihan discovery learning:
1. Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah (problem solving)
2. Dapat meningkatkan motivasi
3. Mendorong keterlibatan keaktifan siswa
4. Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
5. Menimbulakan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat
6. Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya keberbagai konteks.
7. Melatih siswa belajar mandiri
Kekurangan discovery learning:
1. Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalah fahaman antara guru dengan siswa
2. Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Untuk seorang guru ini bukan pekerjaan yang mudah karena itu guru memerlukan waktu yang banyak. Dan sering kali guru merasa belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan membimbing siswa belajar dengan baik.
3. Menyita pekerjaan guru.
4. Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan
5. Tidak berlaku untuk semua topik .
6. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas
a. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning
Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas harus melakukan beberapa persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu:
a) Menentukan tujuan pembelajaran.
b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c) Memilih materi pelajaran.
d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam Budiningsih, 2005:50).
b. Prosedur Aplikasi Discovery Learning
Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:198).
Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.
b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244).
c) Data collection (pengumpulan data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah, 2002:22).
d) Data processing (pengolahan data).
Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan.
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
e) Verification (pentahkikan/pembuktian).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalitation/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).